Pages

Konten dalam blog ini murni untuk tujuan pendidikan. Penulis tidak bertanggungjawab jika terjadi penyalahgunaan isi. Mohon mencantumkan sumber data dengan valid untuk menghormati mereka yang telah berjuang untuk kepentingan pengetahuan umat manusia. Salam hangat, Anis Gunawan.

Allahu Akbar!!!
Share this history on :
KAJIAN AGROEKOLOGI DAN MORFOLOGI
SAMBILOTO (Andrographis paniculata)
DI BERBAGAI HABITAT

Oleh: Anis Gunawan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) ex Nees banyak dijumpai hampir di seluruh kepulauan nusantara. Secara taksonomi sambiloto diklasifikasikan ke dalam divisi Spermathophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, subkelas Gamopetalae, Ordo Personales, famili Acanthaceae, subfamili Acanthoidae dan genus Andrographis. Sambiloto dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti ki oray atau ki peurat (Jawa Barat), bidara, takilo, sambiloto (Jawa Tengah dan Jawa Timur), atau pepaitan atau ampadu (Sumatera).
Sambiloto tergolong tanaman terna (perdu) yang tumbuh di berbagai habitat, seperti pinggiran sawah, kebun, atau hutan. Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan permukaannya halus, berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan, bunga berbentuk jorong (bulan panjang) dengan pangkal dan ujung lancip. Di India bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah antara bulan Nopember sampai Juni, sedang di Indonesia bunga dan buah dan ditemukan sepanjang tahun.
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ialah tumbuhan semusim yang termasuk dalam suku Acanthaceae. Sambiloto ialah herba tegak, yang tumbuh secara alami di daerah dataran rendah hingga ketinggian ± 1600 dpl. Habitat sambiloto ialah di tempat terbuka seperti ladang, pinggir jalan, tebing, saluran atau sungai, semak belukar, di bawah tegakan pohon jati atau bambu. Masyarakat memanfaatkan bagian tajuk (daun dan batang) tumbuhan sambiloto sebagai bahan obat tradisional untuk obat penguat, demam, disentri, kolera, diabetes, sakit paru-paru, influensa dan bronkitis. Tumbuhan sambiloto dipanen dari habitat aslinya oleh masyarakat untuk sumber bahan obat tradisional. Pengambilan sambiloto yang dilaksanakan terus menerus tanpa upaya budidaya yang tepat maka akan mengancam keberadaan plasma nutfah sambiloto (Hanan, 1996; Anonymous, 2001; Winarto, 2003). Karenanya, perlu upaya pembudidayaan tumbuhan sambiloto menjadi tanaman.
Tumbuhan sambiloto memiliki daya adaptasi pada lingkungan ekologi setempat. Tumbuhan tersebut terdapat di seluruh Nusantara karena dapat tumbuh dan berkembang baik pada berbagai topografi dan jenis tanah. Tumbuh baik pada curah hujan 2.000–3.000 mm/tahun suhu udara 25–32 0C serta kelembaban yang dibutuhkan antara 70–90%. Tumbuhan sambiloto dapat tumbuh pada semua jenis tanah, ialah yang subur, mengandung banyak humus, tata udara dan pengairan yang baik. Sambiloto tumbuh optimal pada pH tanah 6–7 (netral). Pada tingkat kemasaman tersebut, unsur hara yang dibutuhkan tanaman cukup tersedia dan mudah diserap oleh tanaman. Kedalaman perakaran sambiloto dapat mencapai 25 cm dari permukaan tanah (Anonymous, 2002; Anonymous, 2003).
Permasalahan yang timbul kalau sambiloto akan dibudidayakan, apakah ada perbedaan agroekologi dan morfologi di berbagai habitat yang berbeda. Makalah ini bertujuan untuk mempelajari agroekologi dan morfologi sambiloto di berbagai habitat untuk dibudidayakan menjadi tanaman penghasil bahan baku obat.

PEMBAHASAN

A. Persyaratan Tumbuh
Pertumbuhan dan produksi tanaman dalam suatu ekosistem pertanian tergantung pada interaksi antara sistem biologis dan lingkungan fisik dimana tanaman itu tumbuh. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman antara lain iklim meliputi cahaya, curah hujan, suhu udara, lingkungan atmosfer (CO2, O2, kelembaban) dan lingkungan perakaran (fisik, kimia, air). Oleh karena itu apabila kondisi lingkungan tersebut kurang sesuai bagi pertumbuhan tanaman perlu dilakukan modifikasi sehingga dicapai suatu tingkat toleransi yang diinginkan.
Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan (Anonim, 2008).

Iklim
Secara umum lingkungan tumbuh dengan tipe iklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun adalah sesuai untuk pembudidayaan tanaman sambiloto, dengan bulan basah (diatas 100 mm/bulan) selama 5-7 bulan dan bulan kering (dibawah 60 mm/bulan) selama 4-7 bulan (Anonim, 2008).

Ketinggian tempat
Ketinggian tempat yang optimum bagi pertumbuhan dan produksi sambiloto adalah dari daerah pantai sampai ketinggian 700 m dpl. Tinggi tempat ini erat hubungannya dengan suhu yang juga sangat berpengaruh terhadap berbagai proses fisiologik tanaman dan akan mempengaruhi produksi sambiloto. Suhu udara yang sesuai berkisar antara 25oC – 32oC dengan kelembaban sedang (Anonim, 2008).
Intensitas cahaya
Selama pertumbuhan tanaman sambiloto menghendaki banyak sinar matahari. Namun demikian tanaman ini masih tumbuh dan berproduksi dengan baik pada kondisi ternaungi sampai 30%. Tetapi jika budidaya dilakukan dengan kondisi naungan diatas 30%, mutu simplisia sambiloto cenderung menurun.

Jenis tanah
Sambiloto mampu tumbuh hampir pada semua jenis tanah. Pada habitat alamnya, sambiloto ditemui hutan-hutan pada kondisi solum tanah yang dangkal. Namun demikian, untuk menghasilkan produksi yang maksimal, diperlukan kondisi tanah yang subur, seperti Andosol dan Latosol.

B. Budidaya Tanaman Sambiloto

Bahan Tanaman
Tanaman sambiloto umumnya diperbanyak secara generatif, dengan menggunakan biji, meskipun dapat pula diperbanyak melalui stek. Perbanyakan tanaman melalui biji harus memperhatikan beberapa hal antara lain tingkat kemasakan biji.

Pembenihan
Pembenihan dari biji, dilakukan dengan cara merendam biji terlebih dahulu selama 24 jam dan kemudian dikeringkan sebelum disemaikan. Perkecambahan akan terjadi 7 hari kemudian, yakni setelah mempunyai 5 helai daun. Benih siap dipindahkan ke polibag kecil dengan media tanam campuran dari tanah, pasir dan pupuk kandang. Benih siap dipindah ke lapang setelah 21 hari. Benih dapat pula diperoleh dari setek, yang diambil dari 3 ruas pucuk tanaman yang sudah berumur 1 tahun. Benih setek siap ditanam di lapangan setelah berumur 15 hari. Benih dari setek umumnya akan lebih cepat berbunga dibandingkan benih dari biji. Pada saat di persemaian, benih sebaiknya disiram 2 kali sehari, yakni pagi dan sore hari dan tempat penyemaian harus cukup naungannya.

Pengolahan tanah
Pengolahan tanah dilakukan agar diperoleh tanah yang gembur dengan cara menggarpu dan mencangkul tanah sedalam ± 30 cm. Tanah hendaknya dibersihkan dari ranting-ranting dan sisa-sisa tanaman yang sukar lapuk. Saluran drainase harus diperhatikan, terutama pada lahan yang datar jangan sampai terjadi genangan (drainase kurang baik). Pembuatan dan pemeliharaan drainase dimaksudkan untuk menghindari berkembangnya penyakit tanaman.

Penanaman
Untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman yang maksimal, jarak tanam yang dianjurkan adalah 40 x 50 cm, atau 30 x 40 cm, disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah. Penanaman dapat dilakukan pada bedengan maupun guludan, yang disesuaikan dengan kondisi lahan.

Pemupukan
Pemupukan yang dianjurkan meliputi pupuk kandang, Urea, SP-36 dan KCl. Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum tanam. Dosis pupuk kandang anjuran berkisar antara 10-20 ton/ha, disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah. Pada tanah yang miskin dan kurang gembur, dianjurkan untuk memberikan pupuk kandang lebih banyak. Dosis pupuk buatan yang dianjurkan adalah 100-200 kg Urea, 150 kg SP-36, 100-200 kg KCl per hektar. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, sedang Urea diberikan dua kali, yakni pada
umur 1 dan 2 bulan setelah tanam, masing-masing setengah dosis.

Pemeliharaan
Pemeliharaan perlu dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Penyiangan dilakukan seperlunya disesuaikan dengan kondisi perkembangan gulma. Disamping itu, drainase perlu juga dipelihara untuk menghindari terjadinya genangan air.

Pengendalian organisme pengganggu tanaman
Hama dan penyakit yang ditemukan menyerang pertanaman sambiloto adalah Aphis spp dan Sclerotium sp. Sclerotium sp seringkali menyerang sambiloto khususnya pada musim hujan, dan menyebabkan tanaman layu. Penggunaan bubuk cengkeh atau eugenol dapat mencegah penyebaran Sclerotium sp.

Panen
Panen sebaiknya segera dilakukan sebelum tanaman berbunga, yakni sekitar 2-3 bulan setelah tanam. Panen dilakukan dengan cara memangkas batang utama sekitar 10 cm di atas permukaan tanah. Panen berikutnya dapat dilakukan 2 bulan setelah panen pertama. Produksi sambiloto dapat mencapai 35 ton biomas segar per ha, atau sekitar 3-3,5 ton simplisia per ha Biomas hasil panen dibersihkan, daun dan batang kemudian dijemur pada suhu 40-50°C sampai kadar air 10%. Penyimpanan ditempatkan dalam wadah tertutup sehingga tingkat kekeringannya tetap terjaga.
Pertumbuhan dan produksi tanaman dalam suatu ekosistem pertanian tergantung pada interaksi antara sistem biologis dan lingkungan fisik dimana tanaman itu tumbuh. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman antara lain iklim meliputi tinggi tempat, suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, intersepsi cahaya dan lingkungan perakaran (fisik, kimia, air). Oleh karena itu apabila kondisi lingkungan tersebut kurang sesuai bagi pertumbuhan tanaman perlu dilakukan modifikasi sehingga dicapai suatu tingkat toleransi yang diinginkan.

Tabel 1. Karakter agroekologi di berbagai ketinggian tempat (Pujiasmanto, dkk., 2007).
Lokasi (Location) D. Rendah D. Menengah D. Tinggi
Agroekologi (Agroecology)
Tinggi tempat (m dpl) 180 450 861
Suhu udara (oC) 26.93 22.44 20.32
Kelembaban udara (%) 78 82 87
Curah hujan (mm/th) 2053.2 2724.6 3555.6
Intensitas matahari (lux meter) 399.74 (di atas tajuk) 412.78 (di atas tajuk) 456.95 (di atas tajuk)
93.37 (di bawah tajuk) 69.21 (di bawah tajuk) 53.89 (di bawah tajuk)
Intersepsi cahaya (%) 76.64 83.23 88.21

Tabel 2. Sifat fisik dan kimia tanah di berbagai habitat sambiloto (Pujiasmanto, dkk., 2007).
Habitat
Dataran Rendah Dataran Menengah DataranTinggi
Fisik dan kimia tanah
pH (pH) 5.80 agak masam 5.83 agak masam 5.47 masam
C Organik (%) 1.36 rendah 2.69 sedang 2.23 sedang
Bahan organik (%) 2.35 sedang 4,63 tinggi 3.84 tinggi
N total (%) 0.25 sedang 0.27 sedang 0.32 sedang
P tersedia (ppm) 5.50 rendah 6.51 rendah 6.65 rendah
K tertukar (me %) 0.32 sedang 0,.33 sedang 0.35 sedang
Mg (me %) 0.48 rendah 0.63 rendah 0.43 rendah
Ca (me %) 1.55 sangat rendah 1.95 sangat rendah 2.05 rendah
Tekstur :
Debu (%) 39.45 36.85 38.55
Lempung (%) 43.55 42.25 47.68
Pasir (%) 17.00 17.90 13.77
Titik Layu Permanen
(%) 14.34 16.42 16.46
Kapasitas Lapang (%) 34.34 35.38 38.24
Jenis tanah Latosol Latosol Latosol
Keterangan : Kriteria penilaian berdasarkan LPT (1982).

Tabel 3. Ciri morfologi tumbuhan sambiloto di berbagai habitat (Pujiasmanto, dkk., 2007).
Organ Ciri Morfologi
Tumbuhan Dataran Rendah Dataran Menengah Dataran Tinggi_________
+ 40 – 40 - 90 cm + 60 – 60 - 125 cm + 20 20 - 60 cm
Daun Daun tunggal, bulat telur, bersilang Daun tunggal, bulat telur, bersilang Daun tunggal, bulat telur,
berhadapan, pangkal dan ujung berhadapan, pangkal dan ujung bersilang berhadapan,
runcing, tepi rata, panjang ± 8 cm, runcing, tepi rata, panjang pangkal dan ujung
+ 8 c lebar + 1,7 cm + 13 cm, lebar + 3,5 cm runcing, tepi rata,
panjang
+ 5 cm, lebar + 1,5 cm

Batang Batan Batang berkayu, penampang Batang berkayu, penampang Batan Batang berkayu, melintang pangkal batang bulat. melintang pangkal batang bulat. penampang melintang
Batang muda berbentuk segi empat Batang muda berbentuk segi empat pangkal batang bulat.
setelah tua bulat setelah tua bulat Batang muda berbentuk
segi empat setelah tua bulat

Cabang Cabang banyak, monopodial, Cabang banyak, monopodial, Cabang banyak,
berbentuk segi empat berbentuk segi empat monopodial,
(kwadrangularis) dengan nodus (kwadrangularis) dengan nodus berbentuk segi empat
yang membesar yang membesar (kwadrangularis)
dengan nodus
yang membesar

Bunga Bunga majemuk berbentuk tandan Bunga majemuk berbentuk tandan Bunga majemuk
di ketiak daun dan ujung batang, di ketiak daun dan ujung batang berbentuk tandan di
kelopak lanset, berbagi lima, ketiak daun dan ujung batang ketiak daun dan ujung
pangkal berlekatan, hijau, benang berlekatan, hijau, benang sari dua, batang kelopak lanset,
sari dua,bulat panjang, kepala sari bulat panjang, kepala sari bulat, berbagi lima, pangkal
bulat, ungu putik pendek, kepala ungu putik pendek, kepala putik berlekatan, hijau, benang
putik ungu kecoklatan, mahkota ungu kecoklatan, mahkota lonjong, sari dua, bulat panjang,
lonjong, pangkal berlekatan, pangkal berlekatan, bagian dalam kepala sari bulat, ungu
bagian dalam putih bernoda ungu, putih bernoda ungu, bagian luar putik pendek, kepala
bagian luar berambut, merah berambut, merah putik ungu kecoklatan,
mahkota lonjong, pangkal, berlekatan, bagian dalam
putih bernoda ungu, bagian luar
berambut, merah

Buah Buah muda berwarna hijau setelah Buah muda berwarna hijau setelah Buah muda berwarna hijau
tua menjadi hitam, terdiri dari tua menjadi hitam, terdiri dari setelah tua menjadi hitam,
11-12 biji 11-12 biji terdiri dari 11-12 biji

Akar Berakar tunggang Berakar tunggang Berakar tunggang


Tabel 4. Pengaruh habitat terhadap morfologi sambiloto (Pujiasmanto, dkk., 2007).
__________________________________________________________________________________________
No. Pengamatan ______________________Habitat__________________________
___________________________________ D. Rendah_____________ D. Menengah__________ D. Tinggi___
1 Tinggi (cm) 47,44 b 59,31 b 19,29 a
2 Jumlah daun (buah) 86.53 b 74.93 b 30.70 a
3 Jumlah cabang primer (buah) 22,60 b 19,33 b 11,80 a
4 Cabang sekunder (buah) 61,60 b 51,56 b 24.86 a
5 Panjang akar (cm) 9,66 a 11,50 a 7,28 a______
Keterangan :Bilangan yang didampingi oleh huruf-huruf yang sama pada pengamatan yang sama berbeda tidak nyata pada uji Duncan 5 %






C. Sambiloto Ditinjau Dari Beberapa Aspek
Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan berbagai bangsa untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya pada awalnya berbasis pada sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Demikian halnya dengan nenek moyang kita. Mereka telah mempunyai pengalaman panjang dan turun temurun dalam menyeleksi berbagai sumberdaya hayati disekitarnya, yang mereka anggap dan yakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan dan terapi penyakit. Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat aneka pangan tradisional, yang salah satunya adalah sambiloto. Jamu herbal ini berkhasiat sangat popular di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Sambiloto (Andrographis paniculata) berkhasiat untuk antiradang, jerawat, hepatitis, kencing manis, bronkhitis, keputuhan, demam dan influenza, kanker payudara, prostat, usus besar, diabet, hepato, dan darah tinggi (Darwis dan Hasiyah, 1991)
Kemajuan iptek pangan dan farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa sebagian besar jenis-jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk peningkatan kesehatan dan pengobatan. Sebagian besar zat-zat bioaktif bahan-bahan tersebut juga telah dapat diidentifikasi dan diisolasi. Kemajuan ini mendorong lahirnya berbagai produk pangan fungsional dengan berbagai klaim khasiat dan manfaatnya. Di masa datang kita tentu tidak ingin menggantungkan diri pada produk pangan fungsional yang diproduksi di mancanegara tetapi bahan bakunya berasal dari kita, atau diproduksi dengan lisensi/paten dari mancanegara padahal komponen bioaktifnya berasal dari sumberdaya hayati pangan kita.
Tentu saja, tanaman sambiloto selain mempunyai kemanfaatan secara ekonomi dan sosial yang menguntungkan dan memberikan banyak khasiat, sambiloto layak dijadikan sebagai tanaman obat keluarga maupun untuk skala bisnis.





KESIMPULAN
1. Tumbuhan sambiloto yang tumbuh di habitat dataran menengah mempunyai morfologi relative lebih tinggi (60–125 cm) daripada yang di dataran rendah (40–90 cm) dan tinggi (20–60 cm).
2. Sambiloto yang tumbuh di habitat dataran menengah mempunyai daun yang lebih luas : panjang (+8 cm) dan lebar (+1.80 cm) dibandingkan di dataran rendah (panjang +13 cm dan lebar +3.50 cm), dan dataran tinggi (panjang +5 cm dan lebar +1.50 cm).
3. Bunga, buah dan akar morfologinya sama baik di dataran rendah, menengah maupun tinggi.
4. Apabila tanaman sambiloto hendak ditanam pada ketinggian dibawah 180 m dpl maupun diatas 861 m dpl, maka perlu dilakukan penyesuaian agroekologi untuk budidaya sambiloto agar sesuai dengan syarat tumbuh optimalnya.
5. Sambiloto layak dijadikan sebagai tanaman obat keluarga maupun untuk skala bisnis.
6. maaf ya kalau tampilan blognya berantakan, ane belum pinter mendesain blog. moga bermanfaat. salam hangat, gun_almun@yahoo.com

0 komentar:

 
KUMPULAN LAPORAN PERTANIAN © 2011 | Powerred by budibisa2sMartLiVe